i think i

Kamis, 24 Maret 2011

Kekerasan terhadap perempuan
Zaman sekarang banyak kita temukan kekerasan terutama kekerasan terhadap perempuan.Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan yang berkaitan atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan, secara fisik, seksual, psikologis, ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan dan perampasan kebebasan baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan rumah tangga.Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
BENTUK – BENTUK KEKERASAN
1. Bentuk – bentuk kekerasan terhadap perempuan di lingkungan masyarakat.

 2. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dilingkungan rumah tangga. 

JENIS-JENIS KEKERASAN

Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dalam bentuk :
3. Tindak kekerasan fisik: yaitu tindakan yang bertujuan untuk melukai, menyiksa atau menganiaya orang lain, dengan menggunakan anggota tubuh pelaku (tangan, kaki) atau dengan alat-alat lain. Bentuk kekerasan fisik yang dialami perempuan, antara lain: tamparan, pemukulan, penjambakan, mendorong secara kasar, penginjakan, penendangan, pencekikan, pelemparan benda keras, penyiksaan menggunakan benda tajam, seperti : pisau, gunting, setrika serta pembakaran. Tindakan tersebut mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit dan luka berat bahkan sampai meninggat dunia.
4. Tindak kekerasan psikologis: yaitu tindakan yang bertujuan merendahkan citra seorang perempuan, baik metalui kata-kata maupun perbuatan (ucapan menyakitkan, kata-kata kotor, bentakan, penghinaan, ancaman) yang menekan emosi perempuan. Tindakan tersebut mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kernampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitAan psikis berat pada seseorang.
5. Tindak kekerasan seksual: yaitu kekerasan yang bernuansa seksual, termasuk berbagai perilaku yang tak diinginkan dan mempunyai makna seksual yang disebut pelecehan seksual, maupun berbagai bentuk pemaksaan hubungan seksuat yang disebut sebagai perkosaan. Tindakan kekerasan ini bisa diklasifikasikan dalam bentuk kekerasan fisik maupun psikotogis.

  TINDAK KEKERASAN SEKSUAL MELIPUTI: 
  6. Tindak kekerasan ekonomi: yaitu dalam bentuk penelantaran ekonomi dimana tidak diberi nafkah secara rutin atau dalarn jumlah yang cukup, membatasi dan/ atau metarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban di bawah kendati orang tersebut.

PENYEBAB TINDAK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN:

Ada beberapa penyebab terjadinya tindak kekerasan dipandang dari berbagai aspek yaitu :
7. Terkait dengan struktur sosial-budaya/politik/ekonomi/ hukum/agama, yaitu pada sistim masyarakat yang menganut patriarki, dimana garis ayah dianggap dominan, laki-laki ditempatkan pada kedudukan yang tebih tinggi dari wanita, dianggap sebagai pihak yang lebih berkuasa. Keadaan ini menyebabkan perempuan mengalami berbagai bentuk diskriminasi, seperti: sering tidak diberi hak atas warisan, dibatasi peluang bersekolah, direnggut hak untuk kerja di luar rumah, dipaksa kawin muda, kelemahan aturan hukum yang ada yang seringkali merugikan perempuan. Terkait dengan nilai budaya, yaitu keyakinan, stereotipe tentang posisi, peran dan nilai laki-laki dan perempuan, seperti adanya perjodohan paksa, poligami, perceraian sewenang-wenang.
8. Terkait dengan kondisi situasional yang memudahkan, seperti terisotasi, kondisi konflik dan perang. Dalam situasi semacam ini sering terjadi perempuan sebagai korban, misaInya dalam lokasi pengungsian rentan kekerasan seksual, perkosaan. Dalam kondisi kemiskinan perempuan mudah terjebak pada pelacuran. Sebagai imptikasi maraknya teknologi informasi, perempuan terjebak pada kasus pelecehan seksual, pornografi dan perdagangan.
Penindasan seringkali terjadi karena ketimpangan relasi kelas, misalnya dari pihak pemilik modal terhadap buruh, nyonya rumah terhadap pembantu rumah tangga, ibu terhadap anak, kakak terhadap adik,  guru terhadap murid,  militer terhadap sipil dan sebagainya. Namun kekerasan terhadap perempuan melintasi semua batas-batas kelas tersebut. Faktanya kita kerap menemukan anak laki-laki yang memukul kakak perempuan atau ibunya, pekerja laki-laki yang memperkosa majikan perempuannya. Maka kita dapat menyimpulkan bahwa kekerasan yang terjadi terhadap perempuan tidaklah terjadi karena kesenjangan kelas sosial atau ekonomi. Kekerasan terhadap perempuan terjadi semata untuk satu alasan, karena ia kebetulan tercipta sebagai perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan bisa dibedakan menjadi empat macam. Kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Kekerasan fisik dalam bentuk pemukulan atau penganiayaan secara fisik. Sementara kekerasan psikologis adalah segala bentuk penghinaan, kata-kata yang merendahkan, ancaman, larangan beraktivitas, cemburu berlebihan, pengaturan cara berpakaian dan segala sesuatu yang menghambat perkembangan dan kebebasan pribadi perempuan. Sedangkan bentuk-bentuk Kekerasan seksual diantaranya adalah pemaksaan melakukan persetubuhan yang tidak dikehendaki yang bisa mengakibatkan kehamilan yang juga tak dikehendaki, pemaksaan gaya atau posisi-posisi berhubungan seks yang tak kita sukai, pemaksaan menggunakan alat-alat kontrasepsi dan lain-lain. Kekerasan ekonomi seperti eksploitasi tenaga kerja perempuan, pemerasan penghasilan yang diperoleh perempuan atau upah buruh yang tidak mengindahkan kepentingan perempuan dan lain sebagainya.

KEJAKSAAN DAN KEHAKIMAN :
 Lebih jauh, konstruksi budaya patriaki menyediakan kondisi bagi suburnya sikap permakluman oleh kaum perempuan atas kejahatan yang dilakukan kaum laki-laki atas pertimbangan kultural.
Yang paling pokok, dalam UU Penghapusan KDRT tidak diatur peran, fungsi dan tanggungjawab kejaksaan dan kehakiman. Padahal, seperti sudah menjadi rahasia umum, kedua institusi hukum ini kerap terperangkap oleh bekerjanya mafia peradilan.
Meskipun demikian UU Penghapusan KDRT ini tetap memiliki arti strategis yang dapat menjadi dasar mewujudnya cita-cita terbentuknya tatanan sosial yang adil dan tanpa diskriminasi. Karena itu yang menjadi agenda mendesak pasca pengesahan UU Penghapusan KDRT adalah membentuk atau menjadikan komunitas-komunitas perempuan sebagai komunitas dengan kesadaran politik keperempuanan atau berperspektif feminis.
Sebagaimana dipahami di kalangan aktivis perempuan, kuatnya akar budaya patriaki telah mengkonstruksi sekaligus mensubordinatkan kaum perempuan. Konstruksi dan subordinasi ini secara psikis dan sosiologis membentuk pola berfikir dan berperilaku menurut prinsip-prinsip yang diakui dalam tatanan sosial yang patriakis.
Hal ini membawa implikasi terhadap pola gerak komunitas-komunitas perempuan yang tidak selalu didasari oleh visi politik keperemp juangkan kepentingan-kepentingan perempuan. Justru sebaliknya, tanpa sadar ia menjadi salah satu pelanggeng dari kekuasaan budaya patriaki. Ambil contoh tentang departemen atau biro perempuan yang ada pada hampir semua partai politik yang tidak memberlakukan diri sebagai unit politik yang memiliki bargaining kuat untuk mendesakkan kepentingan perempuan di level partai politik.
Lebih jauh, konstruksi budaya patriaki menyediakan kondisi bagi suburnya sikap permakluman oleh kaum perempuan atas kejahatan yang dilakukan kaum laki-laki atas pertimbangan kultural. Termasuk dalam soal-soal yang dikategorikan KDRT yang para pelaku justru adalah orang-orang paling dekat dengan korban.
Di dalam masyarakat kita tidak perlu heran ada seorang istri dipukul suaminya namun tidak melakukan perlawanan hanya karena alasan mempertahankan mahligai rumahtangga. Karena faktor impunity (kebebasan dari hukuman ) itu pula kekerasan terhadap perempuan lebih menyerupai fenomena gunung es. Artinya data yang terungkap tidak mewakili kondisi riil yang terjadi di masyarakat. Sebab kasus-kasus "kecil" seperti penamparan, pelecehan harga diri tidak akan (pernah) sampai ke muka publik sebagai persoalan hukum.
Korban KDRT yang umumnya adalah kaum perempuan lebih memilih untuk diam dan menyembunyikan segala penderitaannya sebagai "nasib" yang tidak bisa diubah. Hal ini dapat dilihat dari data yang dimiliki oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapermas) yang menyebutkan, di Jawa Tengah dalam kurun waktu tahun 2003 telah terjadi 14.645 kasus KDRT. Dari sejumah kasus tersebut hanya 73 kasus atau sekitar 0,2% saja yang dilaporkan ke kepolisian. Sementara dari 73 kasus ini, hanya 13 atau 5.62% kasus yang dilanjtkan prosesnya hingga ke kejaksaan.
Kalau hal semacam ini dibiarkan tumbuh subur, maka UU Penghapusan KDRT yang ada akan tinggal sebagai produk hukum berperspektif perempuan yang tidak populer di mata perempuan sendiri. Ketidakpopuleran yang dimaksud lantaran benturan yang harus dialami oleh perempuan korban dengan nilai-nilai yang berlaku dan UU Penghapusan KDRT pun menjadi perangkat hukum yang tidak akan banyak membawa manfaat.

KOMUNITAS BASIS:
Karena budaya patriaki menjadi faktor yang sangat determinan dalam memunculkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, maka perlawanan terhadapnya hanya akan terjadi ketika di tingkat basis muncul komunitas perempuan yang kuat pemahaman atas kebutuhan maupun persoalan dirinya, mampu membangun solidaritas baik terhadap sesama kaum perempuan maupun elemen-elemen lain yang pro visi keperempuanan.
Karena itu komunitas perempuan dengan kesadaran politik keperempuanan atau berpekspektif feminis menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan. Komunitas perempuan dengan kesadaran dan visi keperempuanan adalah komunitas perempuan dengan kehendak melakukan perubahan dengan berdiri di atas kepentingan perempuan sebagai basis "ideologi". Termasuk meletakkan posisi sebagai pembela hak-hak perempuan dalam kasus-kasus KDRT.
Bahwa apa pun yang terjadi pada perempuan di lingkup domestik, perempuan adalah korban dari tindakan tertentu yang dilakukan suami, ayah, atau laki-laki dalam keluarga. Pembentukan komunitas perempuan seperti dimaksud di atas dapat dimulai dengan membangun kesadaran politik perempuan di tingkat basis lewat membangun pemahaman yang utuh atas hal-hal yang menjadi hak-hak sosial, politik dan ekonomi, atau yang dikenal pula dengan hak-hak asasi perempuan (HAP).
Pemilihan komunitas perempuan di tingkat basis sebagai target lantaran selama ini pada level inilah pembiasaan atau penyunatan informasi paling rentan terjadi. Pemahaman perempuan di tingkat basis akan hak-haknya, diyakini akan menaikkan kontrol terhadap situasi ketidakadilan yang melingkupnya. Bersamaan dengan penyadaran akan hak-hak perempuan, diharapkan muncul inisiatif untuk memperjuangkan terpenuhinya hak-hak tersebut. Termasuk melakukan penggugatan atas larangan memperoleh akses-akses ekonomi dan pengembangan potensi diri yang terjadi di lingkup rumah tangga atau domestik.
Tetapi tentu saja upaya ini tidak bisa berjalan sendiri secara sempurna tanpa upaya pendukung lain. Maka peran media massa menjadi penting di sini. Media massa secara terus-menerus membangun wacana mengenai penguatan hak-hak perempuan dengan melakukan blow up terhadap isu kekerasan berbasis gender. Blow up di tingkat media ini akan menjadi jembatan yang efektif untuk memunculkan dan membangun solidaritas di kalangan perempuan itu sendiri. Bersamaan dengan menumbuhkan kesadaran HAP di tingkat akar rumput dilakukan penguatan-penguatan kelembagaan kaum perempuan.
Ini berarti mengajak kaum perempuan untuk meningkatkan posisi tawar dengan cara membentuk dan memperluas jaringan atau organisasi perempuan. Bagaimanapun juga, organisasi adalah cara yang efektif dalam memperjuangkan kepentingan.
Dalam konteks ini makna solidaritas yang terbentuk lewat blow up media massa harus dapat menghilangkan sekat-sekat yang menghalangi penguatan kelembagaan organisasi perempuan. Bukan rahasia lagi apabila diantara kam pergerakan perempuan, diantara LSM-LSM yang mengaku mengadvokasi persoalan perempuan justru terjebak dalam dunianya sendiri-sendiri, saling mengklaim bahwa mereka yang paling benar. Apabila kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin solidaritas yang sedang digalang berubah menjadi solidaritas semu (pseudo solidarity) yang tidak terbangun di atas pemahaman yang sama menyangkut visi politik keperempuanan.
Oleh sebab itu, momentum hari internasional antikekerasan terhadap perempuan.kesempatan untuk kembali mengkaji sejauhmana perlawanan terhadap budaya patriaki -- yang melahirkan berbagai bentuk kekerasan -- telah mampu membangun komunitas perempuan dengan visi politik keperempuanan, dan apakah solidaritas yang telah tergalang atau yang akan digalang secara sungguh-sungguh berdiri di atas visi politik keperempuanan.